Meneropong Lukisan Artefak
"INI adalah aliran lukisan artefak. Semua lukisan bertekstur batu. Saya adalah pematung yang menancapkan batu-batu dalam goresan kanvas."elukis realis Mas Padhik se-jurus membuka pembicaraan. Dia begitu semangat untuk menunjukkan beberapa lukisan yang dipamerkan di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, awal pekan ini.
Bagi pria kelahiran Bandar Lampung, 25 Desember 1960 ini, lukisan memiliki jiwa tersendiri. Untuk itu, setiap cat yang terkandung di dalam sehelai kanvas harus dikerjakan dengan keseriusan.
Pada pameran yang akan berlangsung hingga hari ini (14/11), Mas Padhik menghadirkan beberapa lukisan yang penuh imajinatif. Karya-karyanya sarat dengan nuansa candi dan stupa. Dia seakan-akan menghadirkan gaya lukisan postmodern isme.
Lukisan berjudul Perahu Retak berukuran 200 cm x 330 cm memiliki corak warna kecokelatan yang unik. Lukisan berbahan akrilik itu menggambarkan sebuah kapal yang hampir karam di tengah laut.
Seorang nakhoda dan beberapa awak terlihat pontang-panting akibat dihantam ombak terjal. Mas Padhik seolah-olah menghadirkan sebuah gambaran klise. Keadaan Indonesia tengah terkoyak-koyak. "Indonesia sudah retak sejak lama, tetapi sekarang makin terlihat jelas. Bencana alam semakin menerjang," jelasnya.
Begitu pula dengan lukisan jenderal Kancil (125 cm x 150 cm). Seorang anak tengah di-pnnggul menggunakan tandu oleh beberapa orang. Uniknya, orang-orang itu dilukis menyerupai patung.
Begitu pula, lukisan Kado untuk Sang Raja (150 cm x 200 cm). Alumnus seni patung STSRI ASRI (ISI sekarang) Yogyakarta 1988 ini semakin menunjukkan eksistensinya pada aliran lukisan artefak. Dalam lukisan itu, terlihat seorang ibu muda tengah menyodorkan sebuah hadiah untuk sang suami.
Bentuk-bentuk gambar yang menyerupai candi sangat kental. Akibatnya, dari jauh nampak seperti relief-relief yang melekat di tembok-tembok candi, seperti pada Candi Borobu-dur dan Candi Prambanan di Jawa Tengah.
Tak dapat dimungkiri, ketekunan Mas Padhik di aliran ini telah membawa karya-karyanya melanglang buana . ke luar negeri. Seperti Jepang pada 1995 dan Australia pada 1996/1998. Sayangnya, saat karya-karyanya dipamerkan, dia tidak ikut diterbangkan ke negara bersangkutan. "Saya hanya mengirimkan karya melalui pihak sponsor. Saya enggak pernah ikutan untuk berpameran," cetusnya.
Karya Mas Padhik semakin memberikan corak tersendiri dalam seni post-modernisme di Tanah Air. Pergelutan di aliran lukisan artefak telah dia tekuni sejak 1992. "Saya dulunya pematung. Sekarang saya tidak lagi mematung dengan tanah,tapi kanvas," terangnya.
Pada pameran bersama bertema Huriiharnlwro ini, terdapat pula 11 pelukis lainnya. Mereka adalah Dwiko Rahardjo, Vincen-sius, Adi Laksono, YWdiyatno, Bambang Winaryo, Iskandar, Said Budiarto, Sumarjo, Herman Widianto, Hari Mulyanto serta Agus Prayitno.
"Kondisi-kondisi sekarang saya tuangkan dalam lukisan, baik itu bencana maupun ketidakadilan," tandasnya.ementara itu, kurator pameran Adi Wicaksono mengatakan para seniman telah menunjukkan respons. Yaitu, pada berbagai persoalan mendasar saat ini. "Ada penekanan dalam setiap seniman untuk mengadirkan sesuatu yang unik," jelasnya.
Ia mencontohkan, karya-karya Mas Padhik memiliki ciri khas tersendiri karena menghadirkan bentuk artefak dalam kanvas. Begitu pula, dengan Ady Laksono yang memfokuskan pada unsur warna pada suatu bangunan.
Pemimpin Media Group Surya Paloh menilai para pelukis berhasil menunjukkan ekspresi diri mereka. "Mungkin karya seni memang sedang lesu darah di tengah apresiasi publik yang juga sedang loyo," tulis Surya dalam kata pengantar pameran tersebut. (Iwa/M-5)
Di Indonesia banyak sekali lukisan yang bagus yang ditampuilkan via media online maupun via media off line contohnya www.artkreatif.net web ini dirancang untuk berintegrasi dengan para pencari dan pembuat disitus www.artkreatif.net anda dapat mendapatkan lukisan sesuai dengan ukuran dan harga menurut kemampuan dan selera masing.masing
Sumber : www.artkreatif.net