" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Dulu Berjualan di Jalan, Kini Punya Swalayan

Berawal dari jualan di pinggir jalan dengan modal Rp 300.000, Riza Rizki Adhiyaksa (30) akhirnya bisa memiliki swalayan. Bahkan ia pernah meraup omzet tertinggi dalam sebulan mencapai Rp 750 juta.

Kesuksesannya ini menjadi inspirasi hingga ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai talkshow mengenai peluang usaha di industri kreatif.Nanutz Mania menjadi brand usaha makanan ringan yang dirintis Riza pada Maret 2011. Ayah dua orang anak ini mengatakan dirinya terinspirasi dari lagu boyband Smash berjudul Cinta Cenat Cenut.

"Produk awal saya kan sebenarnya nachos. Saya sempat bingung cari nama. Waktu saya sedang menggoreng, dengar radio tetangga sedang diputar lagu Smash yang Cinta Cenat Cenut. Lalu saya satukan, Nachos Cenat Cenut menjadi Nanutz," ujar Riza kepada Tribun di kantornya di Swalayan Nanutz Mania, Jalan Babakan Ciparay 243, pekan lalu.

Produk Nanutz Mania ini beragam, mulai dari mi nyere sebagai andalan, pangsit goreng atau nachos, keripik sosis, keripik kulit ayam, keripik bayem yang diberi nama Mariyu Bayem dan belasan produk lainnya. Mi nyere itu sendiri memiliki 18 varian rasa.

"Kami berusaha agar brand ini tetap fun dan aman. Artinya, ketika sedang booming keripik singkong, kami membuat mi nyere. Makanan tradisional khas Sunda ini oleh Nanutz dimodernisasikan dengan berbagai varian rasa hingga bentuk dan packaging. Kami juga jual mi nyere yang warna-warni. Kami pelopor mi nyere modern di Indonesia," kata Riza.

Dalam memasarkan produknya, Riza fokus pada penjualan melalui agen dan online. Swalayan di Jalan Babakan Ciparay 243 pun baru dibuka pada Maret 2013 sebagai tempat penjualan offline. Di daerah Mekarwangi pun ada gerai Nanutz Mania. Saat ini, ia sudah bermitra dengan 75 orang agen y di 28 provinsi, hingga ke luar negeri, seperti Jepang, Australia dan Belanda.

"Nanutz ini jual offline baru sekarang. Dari awal berdiri jualnya melalui online. Saya sampai korbankan akun Facebook saya yang sudah ada 5.000 teman. Facebook saya diganti fotonya tiba-tiba dengan foto Nanutz, sampai orang pada kaget. Itu strategi  murah dan efektif. Punya uang 2.500, tinggal ke warnet saja," ujarnya sambil tertawa.

Setiap harinya, dapur produksi Riza yang ditopang 28 pekerja bisa mencapai 1.400-2.000 produk, itu pun yang sudah melalui tahap quality control. Ia mengatakan pernah menggunakan mesin untuk produksi lebih banyak, namun hasilnya tak seenak bikinan tangan. Ia pun kembali mengandalkan dapurnya untuk hasil sempurna.

Hingga hari ini, Riza pun masih berkutat di dapur setiap pagi untuk membuat bumbu. Ia mengatakan tak ingin seperti pengusaha pada umumnya, yang meninggalkan dapur ketika sudah merasa sukses.

Perjalanan Riza selama dua tahun merintis usaha keripik cukup sulit. Sebelum mengangkat merek Nanutz Mania, ia awalnya berjualan di pinggir jalan hingga sering kehujanan dan diusir Satpol PP. Tak habis akal, ia pun ikut berjualan di ajang car free day dan pasar malam, hingga punya teknik jitu. "Teknik saya, saat MaIcih lagi ikut pameran, saya ikutan. Ma Icih di dalam booth, saya di luar tenda di tempat parkir. Nggak ikut bayar booth," ungkapnya.

Baginya, kesuksesan produk Ma Icih menjadi inspirasi dan panutan.

Sumber : kompas
 
 

Dari Pecinta Batik, Kini Beromzet Rp 100 Juta

Berawal saat diberikan batik oleh ibundanya, Soedjadi pun menjadi pecinta batik. Dari kecintaannya terhadap salah satu warisan budaya Indonesia ini, wanita berusia 75 tahun ini pun membuka usaha batik. Bahkan kini omzet usahanya sudah mencapaip Rp 100 juta per bulannya.

Soedjadi telah membuka usaha kain batik sejak 40 tahun silam, saat ia berusia 35 tahun. Ia mengaku sangat mengagumi keindahan batik yang akhirnya mulai merintis usahanya yang kini sudah mempunyai 23 karyawan.

"Awalnya karena dikasih kain batik oleh ibu saya. Semenjak itu saya mulai mengagumi keindahan kain itu. Ketika saya pakai batik, banyak orang (turis mancanegara) yang menanyakan, itu kain apa sih?. Mereka sangat menyukainya. Semenjak itu saya berpikir untuk memproduksi batik sendiri," katanya saat ditemui di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (17/7/2013).

Kini ia sudah mempunyai sebuah toko yang menjual aneka jenis kain batik, khususnya batik Cirebon di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Blok M. Kain-kain batik tersebut dijual dengan beberapa variasi harga. Mulai dari paling harga terendah yakni Rp 2,5 juta, hingga Rp 25 juta.

Soedjadi memproduksi kain batik di rumahnya di Cirebon, Jawa Barat. Untuk sekali produksi, memerlukan waktu antara tiga sampai empat bulan.Selain membuka sebuah toko, batik-batik koleksinya juga dipajang di rumahnya di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Soedjadi juga melayani pemesanan dengan request corak dan warna. Dalam sebulan, Soedjadi dapat menjual sekitar 20 batik.

"Kebanyakan memang yang pesan corak daripada beli langsung di toko. Biasanya langganan. Kalau yang mesan-mesan itu biasanya orang luar, seperti Jepang atau Eropa. Mereka sangat suka dengan keindahannya," ujarnya.

Nenek yang telah dikaruniai delapan orang cucu ini mengakui, dirinya lebih mementingkan keindahan batik daripada sibuk mengurusi usahanya. Hingga kini, ia telah mempunyai ratusan koleksi batik pribadinya yang berasal dari berbagai daerah.

"Saya mah melihat batik saja sudah senang. Batik itu adalah karya seni yang sangat luar biasa. Sekarang saya sudah tidak terlalu memikirkan produksi. Kalau impas yasudah, kalau untung Alhamdulillah," kata Soedjadi seraya tersenyum.

Soedjadi berpendapat, seiring berjalannya waktu, perkembangan batik Indonesia kian naik pamornya. Saat ini batik sudah menjadi trend berbusana masyarakat Indonesia.Akan tetapi ia menyayangkan dengan makin berkembangnya batik, semakin menjamur pula produksi batik dengan kualitas rendah. Hal ini menurutnya akan berdampak pada penilaian orang terhadap kualitas dan keindahan batik itu sendiri.

Walau sudah banyak orang yang menjual batik dengan harga murah, Soedjadi mengaku tidak takut bersaing. Dirinya akan tetap mempertahankan kualitas batik walau harganya jauh lebih mahal ketimbang batik-batik yang dijual pada umumnya.

"Saya tidak takut bersaing dengan batik-batik murah. Saya tetap akan mempertahankan kualitas batik. Karena memang itulah batik yang sebenarnya. Kalau orang yang mengerti batik, dia tidak mau beli batik yang murah. Dia akan membeli batik dengan kualitas bagus, karena seni itu mahal," sebut Soedjadi.

Sumber : kompas

Berawal dari Hobi, Ryan Kini "Raja" Cajon Beromzet Belasan Juta

Memulai bisnis kadang didasari oleh hal sederhana, hobi misalnya. Hobi bermusik dapat menjadi inspirasi untuk memulai usaha. Koning Percussion adalah salah satu contoh wirausaha yang didirikan atas dasar hobi. Ryan Ade Pratama telah lama menjadi bagian dunia musik, khususnya drum.

Tahun 2008, cajon, yang merupakan alat musik instrumen perkusi, mulai populer di Indonesia. Namun, harga cajon selangit. Barangnya pun sulit diperoleh. "Kalaupun ada ya impor. Teman-teman saya di kursus dan komunitas (drumer) mengeluh tingginya harga cajon. Rata-rata harganya Rp 2 juta sampai Rp 5 juta atau Rp 6 jutaan. Dari situ, saya mulai coba belajar kreatif untuk membuat cajon sendiri," kata pria yang akrab dipanggil Ryan ini, di kediaman sekaligus kantornya di kawasan Kalibata, Jakarta, akhir pekan lalu.

Nama Koning dipilih Ryan karena latar belakang pendidikannya kuliah di program studi Belanda. Koning dalam bahasa Belanda berarti "raja". Tahun 2010, Ryan yang waktu itu masih mahasiswa memulai usahanya dengan modal dari uang sakunya sendiri.

"Waktu itu bikin karena harus beli bahan dengan jumlah banyak. Tripleks kan harus dibeli selembar besar itu. Jadi, saya sekali bikin bisa 4, 2 untuk saya dan teman, sisanya dijual. Dijualnya pun ke komunitas sendiri. Ternyata responsnya bagus, jadi ya diteruskan sampai sekarang," ungkap Ryan.

Koning Percussion disebut Ryan tak hanya perajin. Ia mengarahkan usahanya ini untuk industri. Karenanya, ia tak main-main dalam hal produksi. Ia pun tak gentar dengan bermunculan usaha serupa.  Menurutnya, usaha cajon yang benar-benar serius dikembangkan bisa dihitung jari.

Ryan mengaku selain melakukan riset, ia pun terus berinovasi dalam mengembangkan usaha. Saat ini, ia sudah memproduksi 11 tipe cajon. "Itu semua untuk memenuhi segala genre musik. Kita bikin (cajon) untuk semua aliran musik," katanya.

Selain cajon, Ryan juga memproduksi gig bag atau softcase dengan merk Carney. Softcase produksinya ini juga diperuntukkan untuk segala alat musik.

Awalnya, ia mengaku agak kesulitan untuk memasarkan produknya secara luas karena alat musik ini waktu itu masih "barang baru" yang belum banyak dikenal orang. "Saat pertama kali produksi, banyak orang yang tanya 'Mas, bikin salon (speaker) ya Mas?' Karena terdapat lubang pada cajon jadi dikira speaker. Drumer-drumer juga enggak banyak yang tahu cajon itu alat musik ritmik.  Kendala kedua, pemasaran. Awalnya promosi cuma dari mulut ke mulut, tetapi kemudian pakai media online, jadi lumayan terbantu," ujar dia.

Sarjana lulusan Universitas Indonesia ini pun memanfaatkan media sosial dengan promosi di Twitter, Facebook, dan pasang iklan berbayar di internet untuk memperluas pemasaran produknya. Selain itu, ia juga promosi ke stasiun radio, mengikuti bazar, mensponsori acara musik, dan meng-endorse beberapa musisi, seperti Deni "Hijau Daun" dan Andi "Seventeen".

Ia juga membuka diri bagi reseller yang ingin bekerja sama. Saat ini, ada sekitar 15 titik penjualan yang tersebar di Jabodetabek, Bandung, dan Surabaya. Tahun ini ia akan memperluas jaringan produksinya di Jawa dan Bali.

Sebagai pelayanan, Ryan juga memberikan potongan ongkos kirim dan delivery jika area kirim masih terjangkau. Ia pun melayani cash on delivery (COD).

Ryan, yang kini mempunyai empat karyawan, dalam sebulan dapat memproduksi 50 sampai 60 unit cajon dengan harga Rp 600.000 hingga Rp 1,2 juta. Dalam sebulan, ia bisa menjual antara 30 hingga 35 unit cajon sehingga ia pun bisa meraup omzet mencapai Rp 18 juta sebulan.

Anak muda ini pun berbagi tips untuk yang ingin berwirausaha. Menurutnya, yang paling penting adalah jangan takut untuk memulai. "Memulai usaha itu susah-susah gampang. Susah kalau kita kebanyakan mikir, gampang kalau kita enggak pakai mikir dan langsung mulai. Sekarang banyak pengusaha muda, tapi mau enaknya saja, mau langsung sukses. Yang terpenting adalah mulai dulu, apa pun usahanya berapa pun modalnya. Kedua, tahan mental. Kalau rugi, jangan stuck, karena sebenarnya kita mendapat modal baru. Bukan uang, tapi pengetahuan dan pengalaman," tandasnya.


Sumber : kompas
 
 

Entri Populer