" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Kejujuran,Ihlas,dan bekerja keras untuk UKM Indonesia

 Sekilas Kutipan Orang Bijak

 

Yang miskin tidak akan lama miskin jika dia jujur, ikhlas bekerja keras, selalu bersyukur, dan manja kepada Tuhan.


Yang kaya tidak akan lama kaya jika dia tidak jujur, kikir dan kasar terhadap orang miskin, dan lupa Tuhan.


Yang miskin tetap miskin jika dia ngeyel terhadap nasihat baik.
Yang kaya semakin kaya jika dia jujur, rajin belajar dan bekerja.

Selamat Beraktifitas

Ada Janji suci antara kita dan tuhan,.sebelum terlahir........
admint: 

 

Denni, Menciptakan Makanan Khas Batam


Dalam dua setengah tahun, bisnis Denni Delyandri (28) berkembang pesat. Saat ini, ia sudah memiliki empat gerai untuk menjual kue pisang atau kek (cake) pisang. Kini, ia dan istrinya, Selvi Nurlia (28), bersama para pekerja mampu memproduksi 600 loyang kue pisang dengan omzet penjualan rata-rata Rp 20 juta per hari. Beberapa penghargaan diraihnya. Salah satunya adalah juara III tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri.

Denni sebenarnya bukan seorang koki atau pembuat kue. Latar belakang pendidikannya sarjana teknik elektro. Sejak tahun 2003, ia bekerja sebagai karyawan pada sebuah perusahaan elektronik di Batam dengan gaji pokok sekitar Rp 1,2 juta per bulan.

Akan tetapi, kerisauan dan ketidakpuasan menjadi seorang karyawan membuat dirinya mampu mengubah pola pikir. "Setelah lulus kuliah, saya bekerja di pabrik dengan sistem shift. Saya berpikir, kok cuma begini- begini saja," katanya.Bekerja shift dengan penghasilan yang tidak terlalu besar sering kali membuat pekerja bosan. Ia pun mulai berpikir untuk bisa berusaha untuk menambah penghasilan. Di tengah kesibukan sebagai karyawan, akhir 2004, Denni menjual kerupuk udang yang diambil dari orang lain.

"Waktu berangkat kerja, saya titip saja di warung-warung di sekitar pabrik di Mukakuning. Setelah pulang kerja, saya ambil uangnya," kata Denni. Penghasilan penjualan kerupuk udang pun lumayan, yaitu sekitar Rp 800.000 per bulan atau lebih dari separuh dari gaji pokok.Namun, pekerjaan sambilan itu hanya dilakukan sekitar empat bulan. Kesibukan di pabrik dengan kerja shift tidak lagi dapat memberi peluang untuk bisnis sambilan. Sementara itu, istrinya pun sedang mengandung.

Denni kemudian mencobaberjualan kue onde-onde yang juga diambil dari orang lain. Pekerjaan sambilan itu pun hanya dilakukan beberapa bulan.Akhir 2005, keinginan untuk berwiraswasta mulai dirintis lagi. Dengan uang pinjaman dari koperasi karyawan sebesar Rp 10 juta, ia memulai usaha rumah makan padang. Namun, bisnis rumah makan yang dibuka di depan rumah hanya berlangsung dua bulan."Strateginya salah. Di situ sudah ada dua rumah makan, tetapi saya buat di situ lagi," kata Denny. Tambahan modal untuk menyuntik usaha pun tidak ada lagi. Akhirnya, aset rumah makan dijual senilai Rp 5 juta kepada rekannya.

Baca buku

Jatuh bangun untuk memulai usaha tidak membuat dirinya patah arang. Apa yang mendorong Denni untuk terus-menerus berusaha dan memulai sesuatu yang baru?Menurut Denni, dia membaca buku Rich Dad and Poor Dad karangan Robert T Kiyosaki. Buku yang spektakuler itu memberikan inspirasi bagi dia.Pesan yang diambil dalam buku itu adalah bahwa seseorang harus berpikiran positif, berani menempuh suatu perjalanan yang baru, dan selalu berani menangkap peluang. Itulah yang memotivasi dan membuat Denni mampu bertahan dalam jatuh dan bangun lagi untuk memulai suatu usaha.

Setelah gagal berbisnis rumah makan padang, ia memulai lagiusaha event organizer (EO) pada April 2006. Pada mulanya, bisnis itu memang cukup menguntungkan. Pekerjaan sebagai karyawan di perusahaan elektronik pun ditinggalkan pada Juli 2006.Bisnis itu terus digeluti. "Saya pernah mendapat keuntungan Rp 10 juta-Rp 15 juta dalam satu event," katanya.

Akan tetapi, seiring perjalanan waktu, mencari sponsor pun tidak semudah yang dibayangkan. Kelelahan untuk mencari sponsor membuat pekerjaan sebagai EO pun ditinggalkan pada September 2006.
Denni pulang ke kampung halaman di Padang saat Lebaran tahun 2006. Setelah pulang kampung, ia kembali ke Batam dan mencoba bisnis kue pisang. Kue pisang itu dibuat oleh istrinya, Selvi. Pada mulanya, kue- kue pisang yang dibuat hanya ditawarkan kepada tetangga.

Dengan berbagai buku manajemen dan marketing yang "dilahapnya", termasuk kemampuan menangkap peluang, Denni mulai menjalankan pemasaran kue pisang.Kue pisang difoto dan ditawarkan kepada teman-teman untuk dijual dengan imbalan Rp 3.000 dari harga kue Rp 15.000 per potong. Dengan berbekal foto-foto itu, teman-temannyamenawarkan kue ke pabrik-pabrik.

Suatu saat, ia pun mendapat pesanan kue pisang sebanyak 40 potong. Pesanan yang cukup mengagetkan itu membuat Denni dan istri kewalahan memenuhinya."Oven untuk membuat kue di rumah terlalu kecil. Jadi, saya dan istri harus bergadang sampai pagi untuk membuat kue dan memenuhi pesanan itu. Rumah pun sudah seperti kapal pecah," kata Denni. Saat itu, dia tinggal di Perumahan Villa Mukakuning.Setelah berjalan dua minggu sejak pesanan kue sebanyak 40 potong itu, ia pun membeli oven yang lebih besar seharga Rp 3,5juta dengan cara pembayaran dicicil.

Usaha kue pisang yang dijalankannya terus berkembang. Pesanan juga terus bertambah. Awal 2007, pesanan kue pisang sudah mencapai 100-150 loyang per hari.Untuk memperluas usaha, ia pun mencoba mencari kredit dari bank. Pinjaman sebesar Rp 40 juta diperoleh dari Bank Danamon yang digunakan untuk menyewa rumah toko (ruko) di Mukakuning.

Pada suatu waktu, ada pembeli yang ingin membeli kue pisang untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Saat itulah Denni mulai berpikir bahwa kue pisang yang dibuatnya dapat menjadi oleh-oleh dari Batam sebagai makanan khas. Apalagi, Batam belum memiliki makanan yang khas.Dengan keberaniannya, ia pun memasang iklan billboard. Melalui iklan itu, ia berani mengklaim atau menjadikan kue pisang sebagai makanan khas Batam.

Slogan yang dibuat untuk produk yang dijual Denni adalah "Batam, ya kek pisang Villa". Istilah "Villa" berasal dari nama tempat ia membuat kek pisang, yaitu Perumahan Villa Mukakuning, Batam.
Dengan slogan dan strategipemasaran, Denny pun telah menciptakan produk dan merek tersendiri. Hak paten merek itu juga sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual.

38 karyawan
Masyarakat pun, baik penduduk Batam, pendatang, maupun para turis, semakin ingin mengetahui kue pisang buatan Denni. Untuk menarik turis ke gerai-gerai kek pisang, Denni pun bekerja sama dengan perusahaan atau agen perjalanan wisata. Dengan cara itu, bisnis kue pisang pun semakin berkembang. Kini di Batam Center sudah ada dua ruko yang menjual kue pisang buatan Denni.

Pertengahan 2008, Denni mendapat kredit lagi sebesar Rp 500 juta dari Bank Bukopin untuk memperluas usaha. Uang itu digunakan untuk menyewa ruko, outlet, dan membeli peralatan produksi. Kini, dia sudah memiliki empat gerai. "Saya mau tambah satu outlet lagi dibandara sehingga nanti menjadi lima outlet," katanya.

Perkembangan gerai-gerai itu tentu disambut positif oleh Pemerintah Kota Batam. Apalagi, Pemkot Batam sedang gencar-gencarnya mencanangkan "Visit Batam 2010".Dengan outlet-outlet "makanan khas" Batam diharapkan para turis atau pendatang yang datang ke Batam dapat menemukan oleh-oleh untuk dibawa pulang, yaitu "Kek Pisang Villa".

Usaha mandiri kek pisang itu juga mendapat respons positif dan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Kepulauan Riau.
Terakhir, ia mendapat penghargaan sebagai juara III tingkat nasional Wirausaha Muda Mandiri yang diberikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Denni yang dulu menjadi karyawan perusahaan elektronik itu kini tumbuh sebagai usahawan muda yang mempekerjakan 38 orang.

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html

Sumber : Kompas Cetak

Antara Tahu Organik dan Matematika

 
Bertemu Rudik Setiawan seperti jumpa tempayan tumpah. Ia dengan murah hati berbagi  pemikiran, pengalaman bisnis, teori, bahkan rahasia bisnisnya.  Belum lama bicara, ia minta secarik kertas dan pena. Ia lalu membuat skema konsep bisnisnya, latar belakang teori, nama-nama ahli dibalik teori itu dan  tahun bukunya.



Ia membuat skema bisnis model canvas dari  pakar manajemen Alexander Osterwalder (2010), salah satu  strategi manajemen yang biasa diajarkan pada program pascasarjana. Ia terapkan pada pabrik tahunya. Aksi itu membuat orang lain bisa membaca peta bisnisnya dengan cepat.
Karakternya itu melengkapi kontras antara bidang studi yang ia tempuh, sebagai sarjana Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam, Universitas Brawijaya, Malang, dan  kegiatannya sebagai pengusaha pabrik tahu di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, sekitar  14 kilometer dari Kota Malang.

Terasa  unik mengamati bagaimana Rudik menggabungkan matematika dan manajemen untuk mengelola pabrik tahu. Matematika tetaplah  kegemarannya. Matematika tak ia lepaskan, karena  dia pun guru Matematika di  madrasah di Singosari.

Lewat jalan itu, sejak tahun 2004  ia memulai bisnis tahu. Saat itu  ia  masih  siswa  Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Malang. Hasilnya, hingga kini ia meraih tujuh  penghargaan  dari kompetisi manajemen usaha kecil menengah (UKM).

Penghargaan membawanya dua kali bertemu  Wakil Presiden Boediono, termasuk hadiah dari Kemenpora berupa perjalanan meninjau UKM tahu di China. Omzet bisnisnya tahun lalu Rp 1,2 milyar, dan tahun ini ia menargetkan  Rp 2,2 milyar dengan 14  karyawan.

Bagi Rudik, ia  bukanlah pengusaha pabrik tahu, tetapi pebisnis tahu. “Saya tak terlibat proses produksi, meski saya bisa membongkar pasang mesin pabrik tahu.  Seperti umumnya pebisnis, saya mencari untung dari tahu. Tetapi  bukan sekadar untung, saya  mengedepankan karakter dan kejujuran.”
Proses produksi tahu miliknya sama  dengan  pabrik tahu lainnya. ”Hanya pemikiran dan konstruksi di balik lahirnya tahu itu yang berbeda,” katanya sambil menunjukkan produknya, tahu organik.

Kecemasan konsumen
Rudik membidik kecemasan  konsumen tahu yang kian sadar kesehatan dan lingkungan.  “Terutama konsumen perkotaan yang belanja di  supermarket. Mereka khawatir  adanya formalin dalam tahu. Konsumen kelompok ini belum  terlayani kebutuhannya mendapatkan sumber protein murah dan  intim dalam menu makanan kita.”

Ia memproduksi tahu organik berbahan baku kedelai organik. ”Kedelai organik itu dari produsennya, dosen IPB (Institut Pertanian Bogor) juga petani kedelai organik. Harganya  Rp 18.500 per kilogram (kg), jauh lebih mahal dibanding kedelai impor Rp 5.500–Rp 7.500 per kg.”
Dibalik kesederhanaan tahu organik itu, prestasi  terpentingnya adalah membangun kepercayaan pasar. Ia mencanangkan strategi zero waste dan open kitchen  di pabrik tahu. Sampah limbah pabrik tahu itu nol. Dapur pabrik  siap dikunjungi siapa pun.

”Semua itu bukan semata saya pro-lingkungan,  tetap ada pertimbangan komersialnya. Pabrik tahu  biasanya dimusuhi warga desa, karena bau dan limbahnya mengotori sungai. Di pabrik saya, limbah tahu yang berisi protein dimasukkan ke sawah orangtua,” ceritanya.

Alhasil, sawah milik orangtuanya bisa menghasilkan   7,5 ton per hektar (ha). Sedangkan sawah tetangga 5,5 ton per ha. Jadilah ampas tahu pabriknya  dipesan  tetangga untuk pupuk dan pengepul pakan sapi.
Rudik juga tak memakai bahan bakar diesel, tetapi motor listrik dengan modifikasi pada mesin giling. Selain hemat, tak ada suara berisik diesel dari pabrik tahunya. Biaya listriknya sebulan Rp 1 juta lebih, sedangkan pabrik tahu lain membayar bahan bakar sekitar Rp 3 juta.

Inovasi itu didorong  logika Matematika yang menguasai cara berpikirnya. Ia juga melakukan modifikasi pada batu pemecah kedelai di pabriknya.

Saat krisis
Tahu organik ia ”temukan” pada 2007, saat terjadi krisis kedelai. Saat itu harga kedelai impor naik dari Rp 3.000 per kg menjadi Rp 5.500. Krisis tahun 2012 menjadikan harga kedelai  menjadi  Rp 8.000 per kg. Padahal 70 persen biaya produksi pabrik tahu ada pada  bahan baku.
Rudik membuat  tahu organik yang pengerjaannya sama dengan  tahu biasa, kecuali bahan kedelainya yang  organik (tanpa pestisida dan bahan kimia). Ia mengiringi produk tahu organik  dengan upaya meyakinkan konsumen pada ”kesehatan”  tahu. Ia pun mendapatkan sertifikat organik dari Kementerian Kesehatan.

Tahu organik buatannya berukuran 16,5 cm x 16,5 cm, untuk membedakan dari tahu biasa yang umumnya 11,5x11,5 cm. Ia melepas produknya sampai ke pasar swalayan di Jakarta.
”Saya diprotes konsumen, mengapa sama-sama tahu (produk) saya tetapi harganya beda,  Rp 4.000 untuk tahu non-organik, dan  Rp 12.000 yang organik. Saya belajar lagi,  lalu saya beri warna label yang berbeda dan konsumen bisa menerima,” katanya.

Meski tahu organik pasarnya relatif jelas, tetapi Rudik tak meninggalkan pembuatan tahu non-organik. Alasan dia, ”Saya  tak mau  melayani konsumen yang menguntungkan saja. Saya juga wajib melayani konsumen tahu biasa, meski  mereka (konsumen tahu non-organik) berdaya beli rendah.”

Waralaba
Rudik  berencana meluaskan usahanya dengan  waralaba. Ia pun membuat tahu bulat dengan konsumen utama anak-anak. Dia melepas tahu bulat seharga Rp 200 per buah kepada pedagang, yang bisa dijual lagi seharga Rp 500 termasuk sausnya.

”Lantaran tahu saya tanpa formalin dan  lebih lembut, jadi anak-anak suka,” katanya.
Tahu bulat dibuat dari irisan pinggir tahu yang tak rapi, lalu dipadatkan dan dibuat bubur tahu di nampan. Sebagian tahu menyusup ke celah-celah nampan, menjadi  lembaran yang tak rapi.   ”Lembaran itu biasanya diikutkan saat dijual, tetapi untuk produk tahu  saya, lembaran itu saya potong. Lalu dibuat   bola tahu, saya goreng. Jadilah produk baru,” katanya.

Rudik tak menggunakan pengawet karena kecepatan pembusukan tahu bisa ditahan  dengan meningkatkan kepadatan tahu. ”Logikanya gampang, tahu padat air sulit masuk pori-pori, maka bakteri pembusuk sulit berkembang. Jadi umur tahu bisa sampai tiga hari. Itu waktu yang cukup untuk memasarkan tahu, tak perlu  sampai tujuh hari.”

Namun kepadatan tahu membutuhkan lebih banyak  bahan baku. ”Kelihatannya rugi, tetapi sebenarnya tidak,” ucapnya. Label tanpa formalin dan  jaminan Dinas Kesehatan pada produk tahu Rudik, membuat  konsumen memilih tahu merek ITRDS (industri tahu Rudik Setiawan).
”Tahu tanpa formalin juga lebih lembut, tidak keras, dan lebih enak,” ucap  Rudik meyakinkan.
http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2013/04/margahayuland-42-tahun-membangun.html
  
Sumber : Kompas Cetak
 

Entri Populer