" Status YM ""
ukm indonesia sukses

Dari Geribik ke Rumah Gedong


 Kisah Inspiratif>>>>>>

Budi Rahardjo dari Heifer International Indonesia tertegun saat berkunjung ke rumah Iwan Darmawan, penyuluh kehutanan di Lampung Tengah. ”Wah, beberapa bulan lalu masih geribik, sekarang sudah jadi gedong,” kata Budi Rahardjo. 

Merasa penasaran, tamu lainnya pun bertanya, ”Dari mana dananya? Kok hebat betul bisa langsung bangun rumah?” Tak ingin membuat tamunya kian penasaran, Iwan yang bekerja sebagai penyuluh kehutanan tanpa digaji ini pun menjawab, ”Dari uang kocokan arisan. Kalau tidak, mana bisa.”

Iwan tidak sedang bercanda. Rumah berdinding bata tapi belum diplester itu, dan beratap genteng tapi belum berplafon itu, memang dibiayai dari hasil arisan rumah yang sejak lama membudaya di kalangan warga di Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah.

Bagi warga di perkotaan, arisan identik ajang para ibu rumah tangga berkumpul. Terkadang juga begitu lekat dengan hal-hal berbau negatif, macam wadah gosip dan pemicu konsumerisme. Bahkan, tak sedikit arisan dijadikan ladang mencari duit oleh mereka yang licik. Media tidak jarang memberitakan bagaimana uang arisan dibawa lari oleh oknum pengelolanya.

Di Sendang Agung justru sebaliknya. Arisan betul-betul dimanfaatkan untuk tujuan bersama dan kebaikan anggotanya. ”Kami ini sadar kalau serba kekurangan secara ekonomi. Untuk bangun rumah sendiri, tidak mungkin. Satu-satunya cara, ya, saling percaya, kumpulkan modal lewat arisan ini,” ujar Iwan yang juga ketua arisan rumah di kampungnya di Desa Sendang Asih, Lampung Tengah.

Di kelompoknya, jumlah peserta arisan rumah ada 22 keluarga. Iuran arisan bukanlah uang, tapi berupa natura. Tiap kali penarikan, anggota menyerahkan iuran wajib berupa 3 zak semen, 10 kilogram beras, 3 kantong paku, dan 1 pak rokok.

Dengan pola iuran berbentuk natura, warga yang mendapat kesempatan ”narik” terakhir tak perlu khawatir nilai materinya menyusut akibat inflasi. Berbeda jika iuran dalam bentuk uang, yang nilainya akan terus menyusut dari tahun ke tahun.

Belasan tahun

Pola arisan rumah ini telah berlangsung selama belasan tahun. Dari 23 anggotanya, kini semuanya sudah memiliki rumah gedong, bukan lagi geribik—rumah dari bilik-bilik bambu—seperti dulu. ”Putaran pertama sudah clear. Sekarang jalan putaran kedua untuk renovasi dapur dan tambahan kamar,” ujar Sunarti (34), warga Desa Sendang Mulyo, yang juga peserta arisan.

Tidak pernah sekali pun ada kasus warga kabur atau mangkir dari kewajiban meneruskan arisan. Pola arisan rumah ini jadi pemandangan umum di Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah. Setidaknya— dari hasil pemantauan Kompas— ada tiga desa yang melakukannya, yaitu Sendang Asih, Sendang Agung, dan Sendang Baru. Ratusan warga terlibat di dalamnya.

Dalam setahun, penarikan dilakukan dua kali, yaitu seusai panen padi. Jadi, dalam setahun setidaknya dua rumah bisa dibangun dari arisan ini. ”Yang ’narik’ terserah siapa yang sudah siap lebih dulu,” ujar Sunarti.
Sebelum ”narik”, peserta menyiapkan dahulu bahan-bahan pendukung material lainnya, seperti batu bata dan genteng. Batu batu-batu bata buatan sendiri ini biasanya ditaruh berjajar di samping rumah-rumah lama yang masih berwujud geribik atau bilik-bilik bambu. Hal ini menjadi pemandangan umum di kampung ini.
Pertanyaan berikutnya, dari mana tenaga pengerjaannya? ”Ya, kami-kami inilah (anggota arisan). Kalau tidak, dari mana lagi?” ujar Suratman (53), warga Dusun II, Desa Sendang Mulyo, di sela-sela pengerjaan rumah baru milik tetangganya yang baru saja menikah.

Ia dan sembilan warga lainnya saat itu bekerja sebagai ”tukang dadakan” membangun rumah. Ada yang bertugas mengaduk semen, ada yang mengantar hasil adukan, sisanya menyusun batu bata menjadi dinding-dinding bangunan. Satu orang, si ketua arisan di dusun setempat, Suparman (52), bertugas mengomandoi pekerjaan ini.
Kurang dari seminggu, bangunan 9 meter x 10 meter, terdiri atas lima kamar berukuran besar, hampir selesai. Hal yang tidak mungkin terjadi jika dikerjakan oleh segelintir tukang.
Semua pekerjaan dilakukan secara sukarela tanpa bayaran sepeser pun. Makan dan rokok didapat dari iuran arisan yang telah dikumpulkan sebelumnya. ”Kami mau melakukan ini karena ingin punya rumah gedong, tidak lagi geribik. Kalau ingin dibantu, harus membantu dahulu,” ujar Suparman.

Rumah gedong adalah istilah warga sekitar untuk bangunan rumah berupa batu bata dan semen. Belasan tahun lalu, mayoritas rumah warga di Sendang Mulyo masih berupa geribik. Namun, jika dilihat sekarang, hampir semuanya telah berganti wajah: rumah gedong!

”Masih sih ada segelintir yang berupa geribik. Mereka inilah yang biasanya tidak ikut arisan. Jadinya gitu-gitu aja rumahnya,” ungkap Jumeri, salah seorang tokoh desa di Kampung Sendang Mulyo. Modal sosial
Ke depan, saat semua warga sudah memiliki rumah yang memadai untuk tinggal, mereka berancang-ancang untuk meningkatkan fungsi arisan. Tidak hanya untuk membangun rumah, tapi juga untuk membeli motor atau pinjaman biaya sekolah.

”Jadi tidak perlu lagi ada bunga-bunga segala dan harus puyeng berurusan dengan bank,” ungkap Sunarti.
Warga di Kecamatan Sendang Agung mayoritas adalah buruh tani, sebagian kecil jadi petani kakao. Mereka mayoritas perantau asal Jawa. Hidup di daerah ini tidaklah mudah karena sebagian besar wilayahnya berada di kawasan hutan register yang dilindungi.

Penghasilan mereka pun tidak menentu, rata-rata di bawah Rp 400.000 per bulan. Bagi mereka yang sangat miskin, tidak sanggup ikut arisan, warga tidak begitu saja menutup mata. ”Kami tetap bergotong royong membangun rumah dengan sumbangan material seadanya. Tidak bagus memang, tapi yang penting uyup (tidak bocor),” ungkap Nud Sucipto, Kepala Desa Sendang Baru.

Kuatnya kebersamaan warga Kecamatan Sendang Agung yang dimodali kesamaan nasib ini membuat banyak LSM dan pihak luar terkesan. Mereka telah memberikan contoh nyata bahwa modal sosial gerakan masyarakat madani bisa jadi modal paling berharga, mengalahkan modal finansial sekalipun.

Vas Bunga dari Sampah Plastik


 >>>>Vas Bunga dari Sampah Plastik<<<<

Dari bengkel kerja sederhana miliknya, Achmad Iskandar mampu memproduksi lebih dari 900 vas bunga setiap bulan. Barang yang terbuat dari plastik bekas itu dijual ke sejumlah daerah di Kalimantan Timur. Kini, keinginannya hanya satu, yakni memperbesar produksi dan pasar.

Ide bapak enam anak untuk berkecimpung dengan sampah plastik berawal dari ketika dirinya mengikuti kegiatan pameran dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Tingkat Nasional di Balikpapan, Kalimantan Timur, Juli 2008. Saat itu, Iskandar yang mewakili Pemerintah Kota Balikpapan melihat banyak produk daur ulang dari daerah lain yang ikut dipamerkan.

Namun, sepanjang mata memandang, produk daur ulang tersebut wujudnya konvensional, mulai dari taplak meja, tas plastik, hingga produk lainnya yang sudah banyak di pasaran. Saat itulah Iskandar yang sebelumnya menggeluti tanaman hias tebersit untuk membuat sesuatu yang berbeda dan lebih baik daripada yang ada. Jatuhlah pilihan membuat vas bunga.

Ia pun kemudian mempelajari berbagai hal tentang plastik. Ia mencoba mencari tahu apa saja yang bisa dibuat dari sampah plastik, bagaimana mengolahnya, hingga bahaya apa yang bisa ditimbulkan olehnya. Iskandar menghabiskan waktu beberapa bulan untuk uji coba sebelum akhirnya berhasil membuat produk yang dianggap sempurna.

Ditemui di rumahnya, Jalan AMD Sungai Ampal Nomor 68, Kota Balikpapan, Senin (16/8/2010), lelaki kelahiran Muara Muntai, 57 tahun silam, ini menunjukkan sejumlah vas bunga buatannya. Ada sekitar 20 macam bentuk, mulai dari yang berukuran tinggi 25 sentimeter dengan diameter 12 sentimeter hingga tinggi 45 sentimeter dengan diameter 40 sentimeter.

Barang daur ulang itu dicat dan diberi gambar, antara lain bunga hingga motif khas Dayak. Selain vas bunga, Iskandar juga mencoba membuat produk lain berupa tiruan batu alam atau yang biasa disebut marmo. Marmo biasa ditempel pada dinding rumah sebagai ornamen ataupun yang sekadar untuk melapisi lantai seperti ubin.


Oleh Iskandar, produknya dijual mulai dari Rp 25.000 per buah untuk vas bunga dan Rp 175.000 per meter persegi untuk marmo. Selain ke pasar, ia menjual produknya ke kantor-kantor pemerintah daerah dan pameran. ”Sejauh ini pemasarannya baru sampai ke Samarinda, Bontang, Sanggata, dan Tenggarong. Itu pun persentasenya lebih besar vas bunga,” ujarnya.
Metode pembuatan vas bunga ala Iskandar cukup sederhana. Sampah plastik yang sudah terkumpul dimasak hingga berubah menjadi pasta. Setelah itu pasta dituangkan pada cetakan yang terbuat dari semen. Setelah mengeras, baru cetakan dilepas untuk selanjutnya dilakukan proses akhir. Untuk menghaluskan digunakan ampelas dan resin untuk menutup pori-pori.

Semua proses peleburan sampah plastik ini memanfaatkan peralatan manual berupa kompor gas dan wajan berdiameter 18 inci. Ada empat set kompor gas di bengkel Iskandar. Cara melelehkan plastik pun cukup singkat. Untuk meleburkan satu wajan plastik diperlukan waktu sekitar 20 menit, sementara untuk proses pembentukan dibutuhkan waktu 10 menit.

Sampah plastik dari berbagai jenis itu sebelumnya dipilah menjadi tiga bagian, yakni plastik padat, seperti botol oli; plastik lunak, seperti botol air mineral; dan plastik berlapis foil, seperti bungkus makanan kecil. Setelah itu sampah yang memiliki rongga, seperti botol minyak pelumas, dipotong kecil-kecil agar tidak memakan tempat.

”Dari tiga bagian plastik ini kemudian dicampur dengan perbandingan tertentu. Perbandingan ini cukup penting agar plastik bisa bercampur dengan baik dan mengeras. Sebab, jika kebanyakan sampah padat, tidak akan jadi,” ujarnya.Untuk sekali proses peleburan, Iskandar bisa menghabiskan 150-200 kilogram sampah plastik tergantung persediaan. Dari jumlah itu tercipta sekitar 300 vas dengan rincian satu vas bunga memerlukan bahan baku 0,5 kilogram sampah.

Diakui, ketersediaan sampah plastik menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Kota Balikpapan yang cukup kecil, dengan jumlah warga yang tidak terlalu besar, membuat sampah yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu, Iskandar mencoba strategi dengan cara merangkul ibu rumah tangga dan pemulung sebagai pemasok utama bahan baku.

Iskandar pun mensosialisasikan kepada warga di Kelurahan Sumberejo—wilayah tempat ia tinggal—tentang pentingnya sampah plastik. Warga diingatkan agar memilih dan mengumpulkan sampah yang masih bisa digunakan. Sampah yang terkumpul itu diantar ke rumah Iskandar. Sebagai bentuk penghargaan dan memotivasi warga, Iskandar membayar Rp 1.000 untuk setiap kilogram sampah.
”Sebelumnya saya hanya membeli sampah seharga Rp 500 per kilogram dari warga di kota dan Rp 1.000 untuk warga yang berada di pinggir laut. Tujuannya agar warga tidak membuang sampah ke laut. Namun, dalam perkembangannya, warga yang berada di kota kurang termotivasi untuk mengumpulkan sampah. Akhirnya, sejak satu tahun lalu harganya disamakan,” katanya.

Selain bahan baku, kendala lain yang dihadapi Iskandar adalah minimnya peralatan. Dengan peralatan yang ada saat ini jelas sekali produk yang dihasilkan masih terbatas. Karena itu, sejumlah upaya telah dilakukan untuk mewujudkan usaha yang lebih besar dengan alat-alat pabrikan, salah satunya membuat badan hukum usaha menjadi CV Prima Executive dengan maksud untuk memperkuat posisi ketika ada pihak ketiga yang ingin bekerja sama.

Mendaur ulang sampah menjadi barang baru bukan saja menjadi solusi untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru karena Iskandar sudah memiliki enam karyawan. Lebih dari itu, membuat produk daur ulang adalah upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Jutawan dari Kerajinan Sampah Pantai


 >>>Bisnis Kerajinan Samapah>>>

Banyak orang ke pantai di Pulau Dewata, ya, liburan menikmati ombak sampai menikmati terbenamnya matahari. Namun, bagi Made Sutamaya (43) tidak hanya itu. Pergi ke pantai adalah berlibur dan mencari sampah, lalu menyulapnya menjadi kerajinan tangan bernilai jutaan rupiah bagi dirinya. 

Delapan tahun lalu, Sutamaya tak sengaja memandangi tumpukan sampah itu. Banyak sekali potongan kayu hingga ranting-ranting. Menumpuk bak gunung kecil. Tiba-tiba, ia pun berpikir bagaimana agar yang terbuang itu menjadi sesuatu yang bermanfaat serta menjual.

Bahan ada, gratis, serta ramah lingkungan pula! Itu katanya sambil memandangi sampah ranting saat itu. Namun, pria kelahiran Singaraja, Bali, ini belum tahu juga bahan yang ada ini akan diolah seperti apa.
Bermodal nekat, ia pun memungut sampah kayu-kayu itu sebanyak dua kantong plastik berukuran sedang, kemudian dibawa ke rumah yang sekaligus galerinya, Kioski. Dalam waktu sehari, ia pun menemukan ide. Bapak empat anak ini pun membongkar pasang ranting-ranting hasil penemuannya di pantai itu.
”Saya menjadikan ranting- ranting ini menghiasi pinggiran kaca rias berukuran 60 cm x 100 cm. Besoknya langsung laku terjual sekitar Rp 200.000. Pembelinya orang asing yang biasa membeli mebel di toko saya ini. Bahkan, ia meminta saya membuat lagi model yang sama dan model-model lainnya,” tutur Sutamaya bersemangat.

Ini peluang! Sutamaya pun semangat mencari ide-ide untuk model barunya. Setiap hari ia pun mulai bongkar pasang dan mendesain sendiri hiasan kaca rias, hiasan dinding, sampai meja. Harganya bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah sampai jutaan rupiah. Wajar, semua menggunakan tenaga tangan manusia, alias kerajinan tangan murni.

Ranting-ranting itu sama sekali tidak ada sentuhan lain, kecuali paku kecil dan sedikit perekat. ”Semua ranting tidak ada yang sengaja saya patahkan, saya membiarkannya alami. Saya hanya membutuhkan semacam konstruksi di dalamnya sebagai dasar bentuknya,” katanya.

Tentu saja proses pembuatannya rumit dan membutuhkan kecermatan. Bagaimana membentuk dan merekatkan ranting itu satu dengan lainnya agar tidak lepas perlu kelihaian tersendiri. Kalaupun menggunakan paku, hampir tidak terlihat sama sekali. Kesan alami juga muncul ketika kerajinan hiasan dinding, seperti bentuk ikan, tidak diolesi cat pelapis kayu.

Ketekunannya pun membawa hasil. Kini omzetnya sudah lebih dari Rp 100 juta per bulan. Dia juga sudah mengekspor produknya ke beberapa negara di Eropa.
Setiap bulan ia mampu mengumpulkan sedikitnya satu truk setoran sampah pantai. Ia hanya menerima setoran ranting-ranting kayu. Selanjutnya, Sutamaya menyortir ranting-ranting itu dari yang kecil hingga besar atau kebetulan menemukan ranting berbentuk, lalu dicuci bersih dan dijemur. Setelah benar-benar kering, sampah ranting ini siap untuk dirakit.

Bagi Sutamaya, untuk merakit hiasan dinding berbentuk ikan berukuran panjang sekitar 40 cm dan lebar 20 cm, ia hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari dua jam. Ia sudah semakin terbiasa. ”Ya, seni itu kan menggunakan rasa dan estetika. Jadi, perasaan itu terlibat banyak demi keindahan,” tuturnya.
Sekarang ini ia memiliki 80 pekerja yang khusus mencari dan memunguti sampah kayu di semua pantai Bali. Ia pun tidak sungkan mencari bahan sampai ke pantai-pantai di Pulau Jawa.

Pekerja yang membantunya menyusun kayu hingga berbentuk berjumlah sekitar 40 orang. ”Saya mempekerjakan warga desa di Singaraja. Biar mereka tidak silau bekerja di perkotaan saja. Soal hasil finalnya, tetap saya yang mengerjakannya,” katanya.

Kerajinan tangannya itu ada yang berbentuk ikan atau hiasan meja berbentuk kuda, bebek, atau hiasan untuk lampu meja. Ia pun membuat kerajinan tangan berbentuk sapi, kuda, atau jerapah berukuran sama dengan aslinya. Replika binatang dari ranting-ranting untuk dekorasi luar ruangan itu harganya mulai Rp 6 juta.
Ia mengaku tak masalah jika karyanya ini mulai banyak ditiru, tetapi konsumennya tetap bisa membedakan mana buatannya. Karena itu, menjadi tantangan bagi dirinya agar terus berkembang setiap hari dengan model dan gaya yang terus baru. Namun, ia menggelengkan kepalanya ketika pembicaraan menyinggung pengurusan hak kekayaan intelektual (HKI).
”Ah, sudahlah. Saya tidak perlu lagi mendaftarkan semua karya saya. Saya juga tidak bisa menuntut apa pun ketika karya orang lain mirip itu. Kemiripan itu bisa saja diartikan ada yang berbeda. Kita tidak bisa menuntut apa pun meski ide dasarnya sama. Jadi rugi, sudah membayar mahal karena semua karya harus didaftar,” ujar Sutamaya.

Jauh sebelum menjadi jutawan dan dianggap orang yang menemukan dan menjual ide dengan memanfaatkan sampah ranting kayu dari pantai, ia hanyalah karyawan sebuah galeri di Ubud. Perantauannya menjadi karyawan dari Singaraja ke Ubud yang berjarak sekitar 100 kilometer itu tak bertahan lama. Ia pun mencoba membuka galeri sendiri. Karena sewanya makin mahal, sekitar tahun 2000, Sutamaya pun pindah ke Badung.
Menurut dia, lokasi yang ditinggalinya sekarang ini sudah jadi miliknya dan lebih strategis. 

”Buktinya, saya mendapatkan ide merakit ranting ini setelah berada di sini. Saya bersyukur sekali kepada Tuhan,” ujarnya.Ia pun sudah masuk menjadi anggota Asosiasi Mebel Indonesia (Asmindo) Bali. Selain itu, Sutamaya yang selalu dibantu dan didukung oleh istri dan keluarganya itu juga bangga bisa membawa nama Bali di pameran Pekan Raya Jakarta (PRJ) mulai tahun 2004 setiap tahun hingga sekarang.
Hingga kini ia terus konsisten menjaga alam. Ia terus memanfaatkan sampah yang setiap hari mengotori pantai. Ia juga berharap apa yang dilakukannya ini dapat dicontoh anak-anaknya.

Entri Populer