" Status YM ""
ukm indonesia sukses: Laris Karena Gue banget

Laris Karena Gue banget

Bagi Mizan, menerbitkan buku-buku karya penulis cilik semula hanya proyek idealisme. Orang-orang di bagian pemasaran dan sebagian besar pengelola perusahaan penerbit buku itu melihat pasar buku untuk anak-anak sangat sempit. Karena itu, menurut Manajer Buku Anak dan Remaja Mizan Benny Rhamdam, ketika Sri Izzati mengirimkan naskah cerita berjudul Nasi untuk Kakek disertai gambar ilustrasi pada 2003-2004, Mizan hanya mencetaknya sebanyak 100-200 eksemplar. Begitupun karya-kara para penulis cilik berikutnya.

Memasuki 2006-2007, pasar buku anak berkembang. "Booming terjadi pada 2008," kata Benny saat ditemui Rabu lalu. Sejak itu, penulis cilik menggeser penulis dewasa untuk buku anak-anak. Naskah pun terus mengalir dari penulis-penu-lis baru itu. Akhirnya Mizan pun membuatkan banner khusus untuk setiap buku karya mereka Kecil Kecil Punya Karya (KKPK).

Hingga Juni ini sejak pertama kali seri KKPK terbit, Mizan sudah mencetak 120 judul karya 75 penulis belia. "Dalam sebulan rata-rata meluncur 4-5 judul baru," ujarnya. Tiras buku seharga Rp 20-29 ribu itu rata-rata 1.000-2.000 eksemplar per judul. Khusus karya penulis cilik ternama, seperti Sri Izzati atau Alya Nabila, yang menjadi best seller, tirasnya sudah bisa mencapai 10 ribu eksemplar per judul. "Dan karya baru Sri Izzati sekarang selalu ditunggu penggemarnya," ujar Benny.

Penjualan buku terbanyak umumnya bertema persahabatan. Kisah petualangan dan komedi dalam bentuk cerita pendek pun masih mendapat tempat. Mizan, kata Benny, memang lebih banyak mengeluarkan buku cerita dibanding karya puisi. "Puisi-puisi itu harus terasa istimewa dan pernah dipublikasi-kan di media massa," tuturnya. Dari 75 penulis cilik, Mizan kini baru punya tiga penyair cilik, di antaranya Abdurahman Faiz dan Dewantara Soepardi, seorang anak penderita cerebral palsy.

Selain itu, seri buku KKPK yang biasanya hadir dalam bentuk kumpulan cerita pendek dan novel berkisah kehidupan nyata atau fantasi kini makin beragam dengan hadirnya komik karya Fia, 12 tahun. Pelajar dari Bandung itu mengangkat tema petualangan dan gambar penuh warna.

Sementara itu, Lingkar Pena, yang mulai menerbitkan buku pada awal 2004, baru pada 2009 melirik buku yang ditulis anak, seperti Abdurahman Faiz, Sri Izzati, Putri Salsa, Qonita Aini, dan Maryam Muthmainnah.

"Ternyata respons pasar sangat bagus. Serial Cool Skool, yang ditulis Putri Salsa, tahun lalu sudah dicetak empat kali," kata Nita Sundari, salah satu staf umum di Lingkar Pena. Pertengahan Juli nanti, Lingkar Pena juga akan mengorbitkan karya penulis baru, Fatimah Husna, yang masih duduk di kelas V SD {Petualangan Joana), dan karya Serenada Langit.

Nita menduga karya-karya yang ditulis anak mendapat respons yang baik dari kalangan pembaca anak-anak karena memang gaya bahasa maupun idiom-idiom yang digunakan lebih "nyambung" dengan dunia mereka. "Sepertinya cerita-cerita yang disajikan gue banget," katanya. Sedangkan penulis dewasa, Nita melanjutkan, kerap mengaitkan tokoh dan kisah dengan kehidupannya ketika masih menjadi anak-anak di masa lalu.

Rahmadiyanti, Direktur Lingkar Pena, menambahkan, pihaknya sengaja ikut menerbitkan karya-karya penulis cilik untuk memberi pesan kepada orang tua dan masyarakat luas bahwa ada "profesi" yang juga bisa membanggakan selain me-nyanyi, menari, atau main sinetron. Menjadi penulis adalah profesi besar yang bisa menjadi alternatif. "Kalau mau bicara materi, penghargaan lewat royalti, untuk ukuran anak-anak, juga sangat signifikan," ujarnya.

Sedangkan Gramedia Pustaka Utama (GPU) hanya menerbitkan tiga karya Sri Izzati, seperti Kumpulan Cerpen Jempolan (2005) dan Kenangan Manis di Kelas SB (2006). Namun, dengan alasan butuh waktu ekstra untuk menyunting karya anak-anak, Gramedia tak melanjutkan menggarap pasar ini.

"Kami sudah kewalahan menangani naskah-naskah yang masuk. Padahal karya anak-anak, betapapun, butuh waktu ekstra untuk bisa menyelami gaya bahasa dan logika mereka," kata Anastasia Mustika, kepala editor buku-buku fiksi di Gramedia. "Jadi, kalaupun ada naskah dari penulis anak yang masuk, kami sarankan untuk ke Mizan saja," ujarnya.

Selain menerbitkan, Mizan membina para calon penuliscilik. Saat libur sekolah, misalnya, sebanyak 20-30 anak diundang untuk mengikuti latihan menulis.Temanya bebas. Kipi Mizan membatasi jumlah peserta karena selalu ada penulis cilik yang ngotot ikut pelatihan dengan alasan demi penyegaran. Selanjutnya beberapa karya terbaik dalam pelatihan tersebut biasanya dikumpulkan untuk diterbitkan. "Itu bukan untuk pencarian bakat (menulis), tapi lebih untuk regenerasi penulis," kata Benny.

Soal hubungan kerja, ia melanjutkan, Mizan menerapkan sistem royalti. "Kami ingin mereka menunjukkan loyalitas," ujarnya. Walau begitu, ada saja sejumlah penulis cilik yang digaet penerbit lain. Menurut Benny, seharusnya penerbit lain membina sendiri para penulis ciliknya.

Sesuai dengan jenjang popularitasnya, setiap penulis cilik menerima royalti sebesar 6-8 persen dari setiap buku yang laku. Umumnya harga per buku berkisar Rp 22-25 ribu.

Entri Populer